Jumat, 11 Maret 2011

PERBEDAAN ANTARA WALI ALLAH DENGAN WALI SETAN

Di masyarakat, wali adalah gelar yang memiliki prestise tinggi. Orang yang dianggap sudah mencapai derajat wali, segala tindakan dan ucapannya bak titah raja, harus diterima dan dilaksanakan meski tak jarang melanggar syariat.

Mendengar kata wali, akan segera terbayang dalam benak kita sosok manusia luar biasa, ajaib, dan sakti. Itulah pemahaman umum masyarakat kita terhadap sosok seorang wali. Tak heran, seorang ulama atau kyai, meski sering bertingkah aneh, suka nyeleneh, pun dinobatkan sebagai wali.

Mestinya, keadaan ini tidak terjadi bila masyarakat paham bahwa tidak semua orang yang dianggap sebagai wali adalah betul-betul seorang wali. Sebaliknya, bisa jadi dia adalah wali setan.

Siapa Wali Allah?
Istilah wali menurut Ahlusunnah wal Jamaah adalah setiap mukmin yang bertakwa dan selain nabi.  Jadi, siapa saja yang beriman dan bertakwa kepada Allah Subhaanahu Wata’ala adalah wali. Karena derajat keimanan dan ketakwaan bertingkat-tingkat, maka derajat kewalian—yaitu kecintaan dan pertolongan Allah pada hamba-Nya—juga bertingkat-tingkat. Yang dimaksud dengan wali adalah orang yang senantiasa menyempurnakan keimanan dan ketakwaan sesuai dengan kemampuannya, serta sebagian besar kondisinya berada dalam keimanan dan ketakwaan. Hal ini berdasarkan firman Allah Azza Wajalla, artinya,

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekuatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63).

Allah menyebutkan bahwa wali-Nya adalah orang yang beriman dan bertakwa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Wali Allah hanyalah orang yang beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beriman dengan apa yang dibawanya, dan mengikuti secara lahir dan batin. Barangsiapa yang mengaku mencintai Allah dan wali-Nya, namun tidak mengikuti beliau, maka tidak termasuk wali Allah. Bahkan jika dia menyelisihinya, maka termasuk musuh Allah dan wali setan. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’.” (QS. Ali Imran: 31).

Hasan Al Bashri berkata, “Suatu kaum mengklaim mencintai Allah, lantas Allah turunkan ayat ini sebagai ujian bagi mereka.”

Allah menjelaskan dalam ayat tersebut, barangsiapa mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka Allah akan mencintainya. Namun siapa yang mengklaim mencintai-Nya tapi tidak mengikuti beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka bukan termasuk wali Allah. Walaupun banyak orang menyangka dirinya atau selainnya sebagai wali Allah, tetapi kenyataannya mereka bukanlah wali-Nya.

K.H. Hasyim Al Asy'ari—rahimahullah—(tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, NU) berkata, "Barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah tanpa mengikuti sunnah, maka pengakuannya adalah kebohongan." (Ad Durar Al Muntasirah, hal. 4).

Maka keliru, pemahaman yang berkembang di masyarakat kita saat ini, bahwa wali itu identik dengan ulama atau kyai yang memiliki keajaiban dan ilmu yang aneh-aneh. Meskipun dia adalah seorang kyai yang banyak meninggalkan kewajiban syariat, pernyataannya sering merugikan dan menyakiti umat Islam, mengobok-obok syariat, bahkan menjadi penolong musuh-musuh Allah, Yahudi dan Nasrani.

Karamah para Wali
Allah Subhaanahu Wata’ala dan Rasul-Nya menerangkan, karamah memang ada pada sebagian manusia bertakwa, baik dulu, sekarang, maupun yang akan datang, sampai hari kiamat. Di antaranya apa yang Allah kisahkan tentang Maryam di dalam surat Ali Imran: 37, kisah Ashhabul Kahfi dalam surat Al Kahfi, dan kisah pemuda mukmin yang dibunuh Dajjal di akhir jaman. Selain itu, kenyataan yang kita lihat atau dengar dari berita yang mutawatir, karamah itu memang terjadi di jaman kita ini.

Adapun definisi karamah adalah kejadian di luar kebiasaan yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba tanpa disertai pengakuan (pemiliknya) sebagai seorang nabi, tidak memiliki pendahuluan tertentu berupa doa, bacaan, ataupun dzikir khusus, yang terjadi pada seorang hamba yang shalih, baik dia mengetahui terjadinya (karamah tersebut) ataupun tidak, dalam rangka mengokohkan hamba tersebut dan agamanya. (Syarhu Ushulil I’tiqad, 9/15 dan Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah, 2/298 karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin—rahimahullah).

Wali, Tak Mesti Punya Karamah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah—rahimahullah—menyatakan bahwa tidak setiap wali itu harus memiliki karamah. Bahkan, wali Allah yang tidak memiliki karamah bisa jadi lebih utama dari yang memilikinya. Karena itu, karamah yang terjadi di kalangan para tabi’in, lebih banyak daripada karamah yang terjadi di kalangan para sahabat. Padahal para sahabat lebih tinggi derajatnya daripada para tabi’in. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa, 11/283).
Singkatnya, wali yang memiliki karamah, belum tentu lebih mulia dan utama dari wali yang tidak memiliki karamah.




Halaman   1   2

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More